Kamis, 12 September 2013

KEBAL

Terlahir dari keluarga miskin siapa yang mau, memang takdir Allahlah yang menentukan segalanya. Ada 4 takdir yang Allah tetapkan pada diri manusia, yaitu jodoh, mati, rezeki dan kebahagian atau kecelakaan. Keempatnya sudah Allah tiupkan pada setiap diri manusia bersamaan dengan ditiupkannya ruh.
Ada sebuah keluarga miskin yang dikaruniai banyak anak. Keluarga besar itu tinggal di sebuah pedesaan yang tak jauh dari ibukota. Mereka menyadari bahwa kemiskinan bukanlah sebuah takdir, meskipun memang rezeki termasuk ke dalam salah satu takdir. Namun, tahu dan sadar saja tidak cukup, harus ada usaha keras dari diri mereka sendiri agar keluar dari zona miskin.
Kebal, anak keenam dari keluarga tersebut memiliki sifat yang khas ketimbang kelima saudaranya yang lain. Kebal adalah anak bungsu yang selalu dimanja dan dituruti semua keinginannya. Semenjak lulus SMA ia sama sekali tidak berpikir untuk bekerja, menghasilkan uang dan bahkan membahagiakan orangtuanya. Ia seperti laiknya anak yang hidup di belakang ketek ibunya. Setiap hari ia selalu menguras keringat ibunya sendiri. Bukannya ia yang bekerja, tapi malah ibunya yang bekerja. Ibunya, Sukiarti bekerja menjadi buruh di keluarga saudara kandungnya yang kedua.
Memang Teti, saudara kandungnya yang kedua sudah bisa hidup sendiri, tidak lagi bergantung pada ibunya yang kini tinggal sendiri semenjak ditinggal suami 2 tahun yang lalu. Mereka berusaha keras untuk keluar dari zona miskin. Hingga akhirnya mereka bisa menyekolahkan anak pertamanya di sekolah kebidanan dari hasil usahanya menjadi tukang bubur.
Pagi hari Sukiarti sudah berangkat ke rumah Teti, anaknya. Kadang ia bekerja sebagai pencuci piring, ‘penjujut’ daging, atau pemotong hati ayam. Ia diberi upah 20.000 setiap harinya.

 Sesuai dengan namanya, Kebal, kebal hati, kebal iman dan kebal malu. Rasanya ia sudah tak punya malu tiap hari meminta uang kepada ibunya yang dengan susah payahnya ia dapat setelah bekerja keras seharian. Tak punya hati memang, apalagi iman. Hingga di usianya yang ke-27 ia menikah dengan seorang perempuan desa. Tak ubahnya ikan yang keluar dari habitatnya, ia kebingungan menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, kembali ke sifat bawaannya, ia memperkerjakan ibunya sendiri sebagai buruh untuk menghidupi keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar