“Beginilah Jalan Da’wah Mengajarkan Kami”
Karya M. Lili Nur Aulia
Buku ini kecil dan tidak terlalu
tebal, hanya 155 halaman. Namun, sangat berat bila dibaca karena sarat makna
dan perlu ada pemahaman yang lebih dalam, mengenai isi dari setiap bacaannya.
Buku ini terbagi ke dalam 5 bagian
pokok bahasan. Bab I: Dari Sini Kami Memulai, lebih banyak menjelaskan tentang
mengapa kami harus berada di jalan da’wah dan bagaimana cara memulainya. Inti
dari bab pertama ini adalah jalan da’wah mengajarkan bahwa kami memang
membutuhkan da’wah. Kebersamaan dengan saudara-saudara di jalan ini semakin
menegaskan bahwa kami harus hidup bersama mereka di jalan ini agar berhasil
dalam hidup dunia dan akhirat kami. Itulah mengapa kami berada di jalan da’wah
ini.
Bab II: Ketika Kami Membangun
Kebersamaan, menjelaskan tentang posisi kita yang baru mau menjadi bagian dalam
jalan da’wah ini. Tak semua batu bata diletakkan pada posisi yang tinggi, dan
tidak juga harus semuanya ada di bawah. Bahkan terkadang si tukang batu, akan
memotong batu bata tertentu jika dibutuhkan untuk menutup posisi batu bata yang
masih kosong guna melengkapi bangunannya. Estafeta perjuangan da’wah terus
berlangsung dari generasi ke generasi, dimulai dari perjuangan da’wah Nabi
terdahulu hingga estafet penyempurnaan isi dan materi da’wah yang telah
disempurnakan dengan kehadiran Rasulullah SAW. Namun tidak sampai disana,
estafeta perjuangannya harus terus berlanjut dan diwariskan untuk para
sahabatnya, generasi tabi’in hingga para juru da’wah yang berjalan di atas
jalan perjuangannya di hari ini. Dan kami ingin menjadi bagian dari batu bata
dari bangunan da’wah yang agung ini. Sebuah bangunan yang telah dirintis oleh
para anbiya dan orang-orang shalih. Bangunan da’wah untuk menyeru manusia untuk
kembali ke jalan Allah SWT. Akan tetapi, tidak hanya sekadar menjadi batu bata
biasa. Perlu ada kekhasan, keunggulan dan keunikan yang harus dimiliki.
Sebagaimana para nabi dan salafus shalih, memiliki kriteria istimewanya yang
menghiasi perjalanan mereka dalam memperjuangkan agama Allah SWT.
Bab III: Perjalanan Beraroma Semerbak,
bercerita tentang perjalanan penempuh jalan da’wah. Dalam hidup ini, setiap
orang mempunyai kelompok dan jama’ahnya sendiri-sendiri. Dan setiap kelompok
mempunyai simbol dan syiarnya sendiri-sendiri. Tapi setiap orang, jika tidak
diikat dan dihimpun oleh al haq, maka ia akan tercerai berai oleh kebathilan.
Boleh saja, orang menganggap keterikatan kami di jalan ini, membawa kerugian
materil untuk kami. Itu karena mereka melihat, banyak energi yang kami kontribusikan
untuk kepentingan perjuangan kami di jalan ini. Silahkan saja, jika ada orang
yang memandang kami sebagai orang yang tak beruntung karena meluangkan banyak
rentang waktu untuk kepentingan orang lain, sementara diri kami sendiri tampak
belum mapan. Tapi sebenarnya, melalui jalan ini, kami justru mendapatkan suatu
hal yang lain. Jalan ini telah memberikan peranan besar kepada kami dalam
mendidik dan menempa kami untuk sangat menghargai waktu. Kehidupan di jalan
ini, bersama saudara-saudara kami yang mengiringi perjalanan ini, telah memberi
pelajaran berharga setidaknya dalam dua hal, sebagaimana yang didapati oleh
Imam Asy Syafi’i saat ia hidup bersama kaum shuffah. Pertama, dalam
kedisiplinan menghargai waktu. Bahwa waktu laksana pedang yang bisa menebas siapapun
yang tidak bisa menguasainya. Kedua, dalam upaya mengisi waktu-waktu hidup
dengan kegiatan yang penuh manfaat. Bahwa waktu hidup harus terisi dengan ragam
kegiatan hingga menyibukkan kami dari aktivitas yang bathil. Agenda di jalan
da’wah ini begitu banyak mengisi hari-hari kami. Sehingga di jalan da’wah lah
kami lebih mengerti dan mengkhayati ungkapan Imam Hasan Al Banna rahimahullah “al waajibaat aktsaru minal awqaat”. Bahwa kewajiban itu lebih
banyak ketimbang waktu yang tersedia.
Bab IV: Ketika Melewati Jalan Mendaki.
Inilah bagian klimaks dari buku ini. Begitulah, jalan da’wah ini mengajarkan
bahwa sebaiknya kami melihat kepada diri kami terlebih dahulu, melakukan
prasangka baik kepada orang lain, sampai jelas suatu kebenaran itu benar dan
kesalahan itu kesalahan. Setiap orang pasti melakukan kesalahan. Begitupun
dengan para pelaku yang menempuh jalan da’wah ini. Jalan da’wah memang tidak
ditempuh oleh Malaikat. Ini jalan para manusia. Lebih dari itu, ini adalah
jalan orang-orang yang ingin memperbaiki diri dari kekeliruan. Mereka yang
bergabung di jalan da’wah ini tidak lain adalah orang-orang yang menyadari
betapa banyak kekeliruan mereka dan betapa mereka memerlukan bantuan orang lain
untuk memperbaiki diri. Apalagi bila mereka juga secara realitas terus menerus
berbenturan dengan arus yang menghantam dan mengarahkan mereka kearah yang
berbeda. Namun, ada satu hal yang menjadi komitmen mereka, tidak ada kata
mundur dalam jalan da’wah ini. Dan kami termasuk ke dalam salah satu bagian dari
mereka.
Bab V: Kesejukan yang Meringankan
Langkah. Keletihan itu, akan menjadi beban ketika kami merasakannya sebagai
keletihan fisik yang tidak diikuti oleh keyakinan ruhiyah. Maka sesungguhnya
kesempitan di jalan ini, pasti menyimpan hikmah luar biasa yang akan tercurah
dalam bentuk rahmat Allah SWT. Menempuh perjalanan ini, memang menyimpan lelah.
Terkadang, keletihan pun dirasakan setelah melakukan ragam aktivitas dan
tanggung jawab da’wah. Tidak jarang, adapula diantara penempuh jalan da’wah ini
yang merasa begitu terkuras waktu, pikiran dan tenaganya ketika telah terlampau
banyak menempuh perjalanan di jalan ini. Sebuah kondisi yang boleh jadi membuat
seseorang mengalami futur atau terhenti dari aktivitas setelah sebelumnya giat.
Terkadang, mungkin saja ada yang mengeluarkan keluhan atau beban yang
dijalaninya. Lalu bertanya bagaimana caranya untuk mengatasi kesempitan waktu
dan banyaknya tugas-tugas yang harus dikerjakan. Tapi kondisi-kondisi itulah
yang membuat kami semakin mengerti.
Untuk menutup ulasan buku ini, saya
mengutip dari nasihatnya Sayyid Quthb rahimahullah,
beliau mengatakan bahwa, “Mareka (para penegak da’wah) tidak boleh putus asa
dari memperbaiki jiwa dan menanamkan respon baik dari hati orang yang
dida’wahi. Meski apapun pengingkaran dan pendustaan yang dihadapi. Meski
penolakan dan pembangkangan seperti apapun yang muncul. Jika seratus kali,
da’wah belum sampai kepada hati. Mungkin akan sampai pada seratus satu kali.
Jika seribu kali, da’wah belum masuk di dalam jiwa. Mungkin akan masuk pada
seribu satu kali. Dan seterusnya….Jalan da’wah ini bukanlah perjalanan yang
lembut dan mudah. Di sana ada puing-puing kebatilan dan kesesatan. Taqlid dan
kebiasaan yang bersemayam dalam hati, yang harus disingkirkan secara
perlahan-lahan dngan berbagai cara. Semua lokasi yang sensitif harus disentuh…”
(Fi Zilal Al Qur’an, 4/2394)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar