Jumat, 20 September 2013

Ulasan Buku


“Beginilah Jalan Da’wah Mengajarkan Kami”
Karya M. Lili Nur Aulia

Buku ini kecil dan tidak terlalu tebal, hanya 155 halaman. Namun, sangat berat bila dibaca karena sarat makna dan perlu ada pemahaman yang lebih dalam, mengenai isi dari setiap bacaannya.
Buku ini terbagi ke dalam 5 bagian pokok bahasan. Bab I: Dari Sini Kami Memulai, lebih banyak menjelaskan tentang mengapa kami harus berada di jalan da’wah dan bagaimana cara memulainya. Inti dari bab pertama ini adalah jalan da’wah mengajarkan bahwa kami memang membutuhkan da’wah. Kebersamaan dengan saudara-saudara di jalan ini semakin menegaskan bahwa kami harus hidup bersama mereka di jalan ini agar berhasil dalam hidup dunia dan akhirat kami. Itulah mengapa kami berada di jalan da’wah ini.
Bab II: Ketika Kami Membangun Kebersamaan, menjelaskan tentang posisi kita yang baru mau menjadi bagian dalam jalan da’wah ini. Tak semua batu bata diletakkan pada posisi yang tinggi, dan tidak juga harus semuanya ada di bawah. Bahkan terkadang si tukang batu, akan memotong batu bata tertentu jika dibutuhkan untuk menutup posisi batu bata yang masih kosong guna melengkapi bangunannya. Estafeta perjuangan da’wah terus berlangsung dari generasi ke generasi, dimulai dari perjuangan da’wah Nabi terdahulu hingga estafet penyempurnaan isi dan materi da’wah yang telah disempurnakan dengan kehadiran Rasulullah SAW. Namun tidak sampai disana, estafeta perjuangannya harus terus berlanjut dan diwariskan untuk para sahabatnya, generasi tabi’in hingga para juru da’wah yang berjalan di atas jalan perjuangannya di hari ini. Dan kami ingin menjadi bagian dari batu bata dari bangunan da’wah yang agung ini. Sebuah bangunan yang telah dirintis oleh para anbiya dan orang-orang shalih. Bangunan da’wah untuk menyeru manusia untuk kembali ke jalan Allah SWT. Akan tetapi, tidak hanya sekadar menjadi batu bata biasa. Perlu ada kekhasan, keunggulan dan keunikan yang harus dimiliki. Sebagaimana para nabi dan salafus shalih, memiliki kriteria istimewanya yang menghiasi perjalanan mereka dalam memperjuangkan agama Allah SWT.
Bab III: Perjalanan Beraroma Semerbak, bercerita tentang perjalanan penempuh jalan da’wah. Dalam hidup ini, setiap orang mempunyai kelompok dan jama’ahnya sendiri-sendiri. Dan setiap kelompok mempunyai simbol dan syiarnya sendiri-sendiri. Tapi setiap orang, jika tidak diikat dan dihimpun oleh al haq, maka ia akan tercerai berai oleh kebathilan. Boleh saja, orang menganggap keterikatan kami di jalan ini, membawa kerugian materil untuk kami. Itu karena mereka melihat, banyak energi yang kami kontribusikan untuk kepentingan perjuangan kami di jalan ini. Silahkan saja, jika ada orang yang memandang kami sebagai orang yang tak beruntung karena meluangkan banyak rentang waktu untuk kepentingan orang lain, sementara diri kami sendiri tampak belum mapan. Tapi sebenarnya, melalui jalan ini, kami justru mendapatkan suatu hal yang lain. Jalan ini telah memberikan peranan besar kepada kami dalam mendidik dan menempa kami untuk sangat menghargai waktu. Kehidupan di jalan ini, bersama saudara-saudara kami yang mengiringi perjalanan ini, telah memberi pelajaran berharga setidaknya dalam dua hal, sebagaimana yang didapati oleh Imam Asy Syafi’i saat ia hidup bersama kaum shuffah. Pertama, dalam kedisiplinan menghargai waktu. Bahwa waktu laksana pedang yang bisa menebas siapapun yang tidak bisa menguasainya. Kedua, dalam upaya mengisi waktu-waktu hidup dengan kegiatan yang penuh manfaat. Bahwa waktu hidup harus terisi dengan ragam kegiatan hingga menyibukkan kami dari aktivitas yang bathil. Agenda di jalan da’wah ini begitu banyak mengisi hari-hari kami. Sehingga di jalan da’wah lah kami lebih mengerti dan mengkhayati ungkapan Imam Hasan Al Banna rahimahullahal waajibaat aktsaru minal awqaat”. Bahwa kewajiban itu lebih banyak ketimbang waktu yang tersedia.
Bab IV: Ketika Melewati Jalan Mendaki. Inilah bagian klimaks dari buku ini. Begitulah, jalan da’wah ini mengajarkan bahwa sebaiknya kami melihat kepada diri kami terlebih dahulu, melakukan prasangka baik kepada orang lain, sampai jelas suatu kebenaran itu benar dan kesalahan itu kesalahan. Setiap orang pasti melakukan kesalahan. Begitupun dengan para pelaku yang menempuh jalan da’wah ini. Jalan da’wah memang tidak ditempuh oleh Malaikat. Ini jalan para manusia. Lebih dari itu, ini adalah jalan orang-orang yang ingin memperbaiki diri dari kekeliruan. Mereka yang bergabung di jalan da’wah ini tidak lain adalah orang-orang yang menyadari betapa banyak kekeliruan mereka dan betapa mereka memerlukan bantuan orang lain untuk memperbaiki diri. Apalagi bila mereka juga secara realitas terus menerus berbenturan dengan arus yang menghantam dan mengarahkan mereka kearah yang berbeda. Namun, ada satu hal yang menjadi komitmen mereka, tidak ada kata mundur dalam jalan da’wah ini. Dan kami termasuk ke dalam salah satu bagian dari mereka.
Bab V: Kesejukan yang Meringankan Langkah. Keletihan itu, akan menjadi beban ketika kami merasakannya sebagai keletihan fisik yang tidak diikuti oleh keyakinan ruhiyah. Maka sesungguhnya kesempitan di jalan ini, pasti menyimpan hikmah luar biasa yang akan tercurah dalam bentuk rahmat Allah SWT. Menempuh perjalanan ini, memang menyimpan lelah. Terkadang, keletihan pun dirasakan setelah melakukan ragam aktivitas dan tanggung jawab da’wah. Tidak jarang, adapula diantara penempuh jalan da’wah ini yang merasa begitu terkuras waktu, pikiran dan tenaganya ketika telah terlampau banyak menempuh perjalanan di jalan ini. Sebuah kondisi yang boleh jadi membuat seseorang mengalami futur atau terhenti dari aktivitas setelah sebelumnya giat. Terkadang, mungkin saja ada yang mengeluarkan keluhan atau beban yang dijalaninya. Lalu bertanya bagaimana caranya untuk mengatasi kesempitan waktu dan banyaknya tugas-tugas yang harus dikerjakan. Tapi kondisi-kondisi itulah yang membuat kami semakin mengerti.
Untuk menutup ulasan buku ini, saya mengutip dari nasihatnya Sayyid Quthb rahimahullah, beliau mengatakan bahwa, “Mareka (para penegak da’wah) tidak boleh putus asa dari memperbaiki jiwa dan menanamkan respon baik dari hati orang yang dida’wahi. Meski apapun pengingkaran dan pendustaan yang dihadapi. Meski penolakan dan pembangkangan seperti apapun yang muncul. Jika seratus kali, da’wah belum sampai kepada hati. Mungkin akan sampai pada seratus satu kali. Jika seribu kali, da’wah belum masuk di dalam jiwa. Mungkin akan masuk pada seribu satu kali. Dan seterusnya….Jalan da’wah ini bukanlah perjalanan yang lembut dan mudah. Di sana ada puing-puing kebatilan dan kesesatan. Taqlid dan kebiasaan yang bersemayam dalam hati, yang harus disingkirkan secara perlahan-lahan dngan berbagai cara. Semua lokasi yang sensitif harus disentuh…” (Fi Zilal Al Qur’an, 4/2394)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar